‘Tolong, Jangan Ada Lagi Musibah dan Tembakan’

AIR mata gadis kecil berusia 11 tahun itu meleleh membasahi pipi. Aula PT. Arun NGL, Kota Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sontak hening. Beberapa orang yang mendengarkan Fitria – demikian nama anak perempuan itu – membacakan karangannya ikut meneteskan air mata.

Fitria adalah satu dari sekitar 500 anak yang mengikuti berbagai lomba untuk anak-anak pengungsi seperti lomba mengarang, menggambar dan mewarnai yang diadakan Persatuan Wanita Patra (PWP) PT. Arun NGL bekerja sama dengan Rahmania Foundation, di Lhokseumawe, Senin (14/8/2005).

“Ibu sudah lama meninggal karena sakit. Ketika tsunami itu datang, saya sedang menyikat gigi di kamar mandi. Kami kemudian lari ke luar dan mengikuti ke mana oran g-orang lari. Sejak saat itu, saya tak lagi bertemu ayah. Ayah ditemukan sudah meninggal disapu tsunami, karena tak sempat melarikan diri,” katanya sembari terisak.

Ruangan itu semakin diliputi haru. “Yang tinggal hanya saya, adik dan kakak laki-laki. Nam un, tak lama setelah tsunami abang saya kena tembak. Tak tahu siapa yang menembaknya. Keuchik (kepala desa) bilang, dia ditembak ketika naik sepeda motor di kampung kami,” lanjut Fitria membacakan karangan yang ditulisnya sepanjang satu halaman folio itu.

Ia tak sanggup menahan tangis. Gadis kecil itu sesunggukan. Vice Presiden PT.Arun Lis Fauzi Husin dan beberapa orang panitia memeluknya. Setelah tenang, murid kelas VI SD Negeri 9 Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara itu, diberi hadiah dan uang. Fitria memenangkan lomba mengarang tersebut.

Menurut Fitria, kini dia tinggal bersama paman dan bibinya di Muara Batu. Ia mengaku belum bisa melupakan Zahara, ibunya yang meninggal karena sakit sebelum tsunami. Demikian juga ayahnya Syaiful Tanjung yang asli Sumatra Barat itu, masih terngiang dalam ingatan. Abangnya Hendra, yang diharapkan akan menjaga Fitria dan adiknya Amelia, malah tertembak beberapa bulan setelah tsunami.

Ketika <i>Media<p> menanyakan apakah Fitria sudah tahu akan ada perdamaian, gadis lugu itu menggeleng. “Tak tahu, saya hanya tak ingin lagi ada musibah, tak ada lagi tembak-tembakan. Biar kubur ayah, ibu dan abang saya lapang,” katanya dengan mata kembali berkaca-kaca.

Ketua Rahmania Foundation A. Rahman Abbas mengatakan, ribuan anak Aceh saat ini masih berada di tenda-tenda pengungsian. “Saya tak tahu persis jumlahnya. Kita hanya bisa bisa membantu semampunya. Selama ini, Rahmania Foundation sudah membantu memberi beasiswa kepada 500 anak yang disalurkan lewat pesantren,” katanya.

Menurut dia, anak-anak yang berada di tenda pengungsian lebih baik dipindahkan belajar ke pesantren, sehingga keamanan dan kelangsungan belajar mereka lebih terjamin. Kalau di tenda, tempatnya tak layak untuk belajar,” ujarnya.

Menggelar berbagai perlombaan untuk anak di Lhokseumawe kemarin, menurut Rahman, merupakan bagian dari kegiatan mereka di seluruh NAD untuk anak-anak korban bencana tersebut. Selain mengikuti lomba, anak-anak tersebut juga dihibur dengan aneka ragam permainan seperti permainan membeli makanan, membeli buku, dan tentunya bern yanyi bersama.

Anak-anak dari sembilan pengungsian di Kabupaten AcehUtara dan Kota Lhokseumawe yang ikut acara tersebut, kemarin tampak riang dan menikmati beragam acara dari pagi hingga sore. Fitra pun bisa melupakan sejenak kepedihannya. “Saya memang sering jika teringat keluarga saya. Tapi, saya senang dengan acara di sini,” katanya, sambil mencoba tersenyum. (Hendra Makmur)

~ oleh hendramakmur pada 19 April 2008.

Tinggalkan komentar